Kisah Pangeran Kusumoyudho dengan Putera-puteri Pangeran Natas Angin

Pepali Sunan Ing Ngatas Angin
"RIDHONING GUSTI MUDHUN NITIS-NETES-NETES MARANG SALIRO GUMANTUNG ANENG RIDHANING WONG ATUWOMU, GURU KIYAHIMU, LAN PEMIMPINMU SOWANG-SOWANG"

(Oleh Abah Supriyo Syakib)


Issengngi Kalénnu!


Di ujung malam 27 ramadan tahun 1000 hijriah, seorang lelaki muda duduk bersila di depan gurunya yang sudah berusia senja. Kepalanya tunduk takzim, tak berani menatap lelaki yang beserban hijau di hadapannya (Maksudnya adalah Pangeran Penatas Angin). Lelaki tua yang dia sapa dengan gelar Susuhunan itu memejam mata, mulutnya tak henti komat-kamit melafaz zikir.

Malam itu adalah malam penahbisan si lelaki muda sebagai murid utama dari guru yang sudah dia ikuti selama 10 tahun bermukim di arah tenggara Demak. Gurunya mukim di sana atas petunjuk Susuhunan ing Kalijaga, salah seorang anggota wali sanga.
“Angger Kusumoyudho, malam ini akan menjadi pamungkas dari pelajaranmu padaku. Ketika ayam jantan berkokok tiga kali nanti, aku akan mewisikkan padamu pati dari seluruh wejanganku selama ini. Siapkan dirimu, Ngger, raga dan batinmu.” Suara sang guru bergetar, menelusuk ke gendang telinga, dingin menusuk, sedingin udara malam di seputaran sendang tempat mereka duduk bersila berhadapan.
“Inggih...” Kusumoyudho menangkupkan kedua tangan di atas kepala.
“Baiklah, aku akan mewisikkan sebaris kalimat ringkas dalam satu helaan nafas.”
“Sejatine manusa iku Rahsaningsun, lan ingsung Rahsaning manusa...” (Sesungguhnya manusia itu rahasia-Ku dan Aku ini rahasianya manusia) Angin berdesir halus menurut tuturan lelaki tua berserban hijau itu.

Tubuh Kusumoyudho bergetar hebat, butir keringat berbaris di sekujur tubuhnya, nafasnya berat. Di lain sisi, gurunya terlihat lebih santai, beban berat baru saja terhempas dari dirinya. Lelaki tua itu bernafas lega, wajahnya bersinar, matanya berbinar, senyum merekah dari bibirnya. Apa yang selama ini menyertainya, telah dia bagi ke murid utamanya, Kusumoyudho.
* * *




























Sore di awal 1590 masehi, Tumenggung Kusumoyudho duduk bersila di pendopo samping rumahnya. Sebagai salah seorang punggawa kerajaan Mataram yang mulai tumbuh setelah keruntuhan Demak dan Pajang, rumah Kusumoyudho bisa dikatakan istana kecil. Di hadapannya, bersimpuh dua orang remaja dewasa, seorang lelaki dan seorang perempuan. Mereka, Imam Prakosa dan Dewi Kosasih, keduanya anak dari gurunya.
“Aku bisa sampai di posisi ini, berkat ayahanda Sunan. Beliau orang hebat dan menjadi salah satu wali yang diakui oleh Sunan Kalijaga.” Suara Kusumoyudho terdengar berwibawa, Imam Prakosa dan Dewi Kosasih menanggapi dengan senyum, sambil menikmati kudapan sore.
“Apa kalian tahu kalau beliau berasal dari negeri yang jauh?” Lanjut Kusumoyudho.
“Maksud Kakanda?” Imam Prakoso tersentak, pun Dewi Kosasih.
“Apa ibunda Dewi Gayatri tak pernah menyampaikannya?”
“Ibunda menjadi lebih pendiam sejak ayahanda berpulang.” Kali ini Dewi Kosasih yang menimpali.
“Sebelum meninggal, ayahanda mengisahkan padaku tentang negerinya. Negeri yang besar di timur nusantara, Gowa namanya.”

Tak ada tanggapan dari Imam Prakoso maupun Dewi Kosasih, Kusumoyudho melanjutkan kisahnya. Gurunya dikenal dengan nama Susuhunan ing Ngatas Angin, salah seorang senopati perang Kasultanan Demak, juga penasehat raja di bidang strategi militer dari tahun 1521-1546 masehi di era kepemimpinan Sultan Trenggono, bahkan terlibat dalam berbagai ekspedisi perluasan Islam ke berbagai daerah.
“Beliau lahir pada 1498 masehi di Somba Opu, ibukota kerajaan Gowa, dengan nama Daéng Mangémba Nattisoang. Ayahnya adalah raja Gowa ke-9 Daéng Matanré Karaéng Manguntungi Tumapa’risi’ Kallonna.” Terang Kusumoyudho.
“Lalu, mengapa ayahanda berada di sini. Bukankah ayahanda merupakan calon raja?” Selidik Imam Prakoso.
“Ayahanda bukan putra mahkota, adikku. Ibunya yang bernama I Malati Daéng Bau, bukanlah bangsawan tinggi di kerajaannya, ayahnya hanya pejabat rendah di kerajaan Marusu’.”
“Ayahanda pergi karena tak ingin ribut soal kekuasaan dengan saudaranya?” Imam Prakoso antusias.
“Tidak begitu. Menurut ayahanda, kerajaannya tak mengenal perebutan kekuasaan, semua bangsawan memahami betul posisi dan haknya. Ayahanda ke Demak karena alasan lain.”
“Alasan yang lebih penting dari panggilan tanah air?”
“Ya.” Jawab Kusumoyudho pintas.
* * *
Tahun 1512 masehi, Daéng Mangémba menginjak 14 tahun. Sebagai putra raja, dia diminta mendampingi ayahandanya, Tu Mapa’risi’ Kallonna mendatangi pemukiman orang Jawa di Pammolingkang (Galesong sekarang). Petinggi Portugis di Makassar menghasut raja Gowa untuk mengusir mereka. Menurut Portugis, Islam yang menjadi keyakinan orang-orang itu berbahaya bagi Gowa.

Kala itu, Daéng Mangémba menyaksikan ayahandanya dikalahkan oleh pemimpin orang-orang Jawa, Kyai Sulasi, dalam perang tanding yang adil. Raja Gowa tak jadi mengusir mereka, namun Kyai Sulasi memilih kembali ke Jawa dengan rombongannya, sebab memang, tujuan utama mereka ke Gowa bukan untuk menetap, tapi untuk menggalang dukungan melawan Portugis di Malaka.
“Diam-diam, rupanya ayahanda tertarik dengan Kyai Sulasi yang berhasil mengalahkan raja Gowa. Mereka sering bertemu, ayahanda berguru Islam pada Kyai yang disapanya I Galasi tersebut.” Ujar Kusumoyudho.
“Berarti ayahanda ikut rombongan I Galasi ke Demak?” Imam Prakoso kembali bertanya, Dewi Kosasih hanya diam.
“Betul, ayahanda ke Demak untuk memperdalam agama Islam. Kyai Sulasi lah yang menyarankannya berguru ke Sunan Kalijaga.”
“Apakah kemampuannya mengalihkan angin juga dipelajari dari Sunan?”
“Tidak. Kesaktian itu dibawa ayahanda dari Makassar. Beliau memang telah mumpuni sebelum mendarat di Bintaro.” Terang Kusumoyudho.
“I Galasi yang mengajarinya?”
“Bukan, dari pamannya.”

Guru pertama Daéng Mangémba adalah Daéng Pamatte’, kakak kandung ibunya. Kala itu, Daéng Pamatte’ adalah sabannara (Syahbandar) kerajaan Gowa. Sejak usia tujuh tahun, ia rutin mengunjungi tempat yang dilalui angin kencang, berlatih menghalau angin dengan kedua telapak tangannya. Kemapuan tersebut dikuasainya pada usia sembilan tahun.
“Apakah ayahanda benar-benar menguasai kemampuan itu?
“Laskar Pati Unus telah membuktikan kemampuannya dalam perjalanan menyerang Portugis di Selat Malaka pada akhir 1512 masehi. Saat itu, sepuluh ribu prajurit yang mengendarai seratus jung yang dipimpin Pangeran Pati Unus terjebak badai di selat Berhala, perairan sebelah barat pulau Singkep.”
“Lalu...”
“Melihat armada Demak kacau balau, bahkan beberapa kapal terjungkal. Atas izin Gusti Allah, ayahanda mengamalkan kemampuannya membalik arah angin, dan pasukan bisa meneruskan perjalanan ke Malaka.”
“Alhamdulillah...”
“Oleh Pangeran Pati Unus, ayahanda diberi gelar Pangeran Penatas Angin dan digunakannya hingga akhir hayat, Susuhunan ing Ngatas Angin.”
* * *
Malam 27 ramadan tahun 1020 hijriah bertepatan dengan 1599 masehi, Kusumoyudho yang kian menua duduk tafakur di di atas sajadah di tepi sendang tempat dia mewarisi gelaran kahananing dat (Paparan tentang keadaan zat Allah) dari Daeng Mangemba.
“Issengngi kalennu! (Kenali dirimu!)” Kalimat pamungkas dari gurunya dua puluh tahun silam, dia wisikkan ke Imam Prakoso yang tafakur di depannya. Tak ada tanggap, hanya angin malam berdesir pelan, mengiringi gumam Kusumoyudho.

Comments