Perayaan Maulid Nabi, Bisa Haram dan Bisa Wajib


Ada diantara beberapa teman muslim kita yang mengatakan bahwa perayaan terhadap Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan suatu kesesatan yang dibuat-buat. Mereka mengatakan bahwa orang-orang yang membaca maulid nabi tidak akan diterima amalnya oleh Allah SWT dan perbuatan itu sia-sia tiada guna. Pujian-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW dalam haflah maulid merupakan bentuk pemujaan yang berlebih-lebihan dan melampaui batas yang menyebabkan keserupaan dengan kaum Nasrani dalam memuji Nabi Isa hingga mengatakan beliau sebagai tuhan dan atau sebagai anak tuhan. Mereka menuduh orang-orang yang membaca maulid juga telah meletakan sifat ke-Tuhan-an kepada Rasulullah Sebagaimana ayat berikut :


لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّ اللّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُواْ اللّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ ﴿٧٢﴾
Artinya : “Sesungguhnya Telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al masih putera Maryam", padahal Al masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (Q.S. Al-Maidah : 72)

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللّهِ وَقَالَتْ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِؤُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ ﴿٣٠﴾
Artinya : “Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al masih itu putera Allah". Demikianlah itu Ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?”  (Q.s At-Taubah : 30).

Namun sesungguhnya perlu kita kaji lebih dalam lagi tentang vonis kafir atau sesat itu. Sebab sesungguhnya sangatlah berbeda antara puji-pujian dalam pembacaan maulid Nabi Muhamad SAW dengan puji-pujian kaum nasrani terhadap Nabi Isa AS. Vonis sesat atau kafir seperti ini akan berakibat fatal manakala salah sasaran. Rasulullah SAW mengingatkan kita dalam dalam sebuah hadist :

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيْهِ : يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
Artinya : “Dari Abi Hurairah RA berkata : “Jika seseorang berkata kepada saudara muslimnya, Hai Kafir!, maka kekafiran telah jatuh pada salah satu dari keduanya” (HR. Al-Bukhari)



Perlu menjadi perhatian khusus bahwa sesungguhnya garis pemisah antara kafir dengan mukmin dalam hal pembacaan Maulid Nabi Muhamad SAW ini terdapat dalam masalah niat masing-masing individu. Ketika mereka memuji Rasulullah SAW dengan mencampuradukan status khaliq dan makhluk serta menjadikan status Rasulullah SAW sebagai Tuhan, maka hal seperti inilah yang menjadikan seseorang menjadi kafir. “Semoga kita dihindarkan oleh Allah SWT dari sifat mencampur adukan yang demikian.

Berbeda lagi ketika kita telah mengetahui perbedaan hak-hak yang murni untuk Allah SWT dengan hak-hak yang murni untuk Rasulullah SAW. Ketika hak itu ditunaikan secara proporsional, dengan tidak memberikan kekuasaan kepada Rasulullah SAW diluar kehendak Allah SWT maka hal yang demikian sesungguhnya bukanlah berlebihan. Sebab memang hanya Allah SWT-lah dzat yang maha mencipta, maha mengatur dan satu-satunya yang maha sempurna.
Jikalau yang dimaksud melampaui batas adalah berlebih-lebihan dalam mencintai atau berlebih-lebihan dalam ketaatan dan keterikatan dengan Rasulullah SAW, maka hal yang demikian merupakan sikap yang terpuji dan justeru dianjurkan sebagaimana dijelaskan dalam hadis :

لَاتَطْرُوْنِيْ كَمَا أَطَّرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ
Artinya : Janganlah kalian memuji aku secara berlebih-lebihan sebagaimana kaum Nasrani memuji Isa ibn maryam secara berlebih-lebihan.

Maksud dari hadis diatas adalah selama sanjungan itu tidak berlebih-lebihan sebagaimana kaum nasrani menyanjung Nabi Isa, maka masih dalam kategori boleh. Jika yang dimaksud adalah melarang sanjungan secara mutlak, maka tentunya Beliau Rasulullah SAW tidak akan mengatakan demikian. Justeru wajib hukumnya bagi setiap kaum muslimin untuk senantiasa memuliakan orang-orang yang dimuliakan oleh Allah SWT. Sehingga memuji Rasulullah SAW, ataupun memuji para Nabi, para malaikat, para auliya’, serta para ulama’ maupun orang-orang shalih selama tidak menjadikan sifat-sifat ketuhanan bagi mereka maka hal yang demikian bukanlah tindakan kufur ataupun syirik. Bahkan hal yang demikian merupakan salah satu bentuk ketaatan dan bentuk Ibadah yang besar sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-qur’an :

ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ ﴿٣٠﴾
Artinya : “Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah Maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (Q.S Al-Hajj : 30)

Diantara yang diagungkan Allah SWT adalah ka’bah, hajar aswad, maqam Ibrahim, dsb hingga Allah SWT memerintahkan seluruh umat Islam yang telah mampu menjalankanya untuk juga memulyakanya benda-benda tersebut dengan melakukan Ibadah Haji. Maka sesungguhnya melakukan thawaf, mengusap rukun yamani, mencium hajar aswad, shalat di belakang maqam Ibrahim, wuquf dan berdoa di dekat mustajar pintu ka’bah, dan multazam, merupakan bentuk memuliakan benda yang juga dimulyakan oleh Allah SWT. Hal yang demikian selama tidak meletakan sifat ke-Tuhan-an padanya, maka juga bukan tindakan kekufuran. Allah SWT berfirman :

ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ ﴿٣٢﴾
Artinya : “Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Q.S Al-Hajj : 32)

Setiap orang Islam meyakini bahwa para Rasul juga mengalami apa yang pernah dialami oleh umumnya manusia selama tidak mengurangi kedudukan mereka sebagai seorang utusan Allah. Contoh hal tersebut seperti sakit ringan sebagaimana disebutkan dalam kitab aqidatul awam :

وَجَائِزٌ فِى حَقِّهِمْ مِنْ عَرَضِ # بِغَيْرِ نَقْصٍ كَخَفِيْفِ اْلمرَضِ
Para Rasul boleh mengalami sifat-sifat yang temporer, yang tidak mengurangi kedudukan mereka seperti halnya sakit yang ringan.

Rasulullah SAW adalah seorang hamba yang tidak memiliki kemampuan untuk memberikan manfaat, bahaya, kematian, kehidupan, dan kemampuan membangkitkan diri sendiri sebagaimana sifat yang dimiliki Allah SWT. Sebagaimana firman Allah :

قُل لاَّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرّاً إِلاَّ مَا شَاء اللّهُ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَاْ إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ ﴿١٨٨﴾
Artinya : “Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. dan sekiranya Aku mengetahui yang ghaib, tentulah Aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan Aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". (Q.S Al-A’raf : 188).

Memang benar bahwa para Rasul adalah seorang manusia, namun ke-manusia-an tentunya berbeda dari manusia biasa pada umumnya. Sebagai manusia yang dimuliakan Allah SWT, mereka mempunyai keistimewaan yang tidak mungkin dimiliki oleh manusia biasa. Sehingga dalam menilai Rasulullah SAW dan para Rasul lainya sebagai manusia biasa tanpa penilaian keistimewaan melebihi manusia yang biasa justeru merupakan salah satu pandangan jahiliyah yang keliru. Bukankah Allah SWT memperingatkan bahayanya menganggap para Rasul sebagaimana manusia biasa, tanpa memiliki kelebihan apapun ?

Sesungguhnya dalam Al-qur’anul karim Allah SWT telah menjelaskan sikap kaum Nabi Nuh (Q.S Hud : 27), sikap kaum Nabi Musa dan Nabi Harun (Q.S Al-Mukminun : 47), sikap kaum Tsamud (Q.S Asy-Syu’araa’ : 154), sikap penduduk aikah terhadap Nabi Syu’aib (Q.S. Asy-Syu’araa’ : 185-186) serta sikap kaum Musyrikin terhadap Nabi Muhamad SAW (Q.S Al-Furqan : 7) yang menganggap para Nabi itu sebagai manusia biasa.

Meskipun Rasulullah SAW telah wafat dan hidup di alam Barzakh, namun beliau tetap mampu mendengar perkataan, membalas salam dan menerima shalawat dari orang-orang yang bershalawat kepada beliau. Meskipun beliau telah wafat, keutamaan, kedudukan, derajatnya di sisi Allah SWT tetap abadi dan mereka yang benar-benar beriman tidak akan meragukan hal ini.

مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمُ الْجُمْعَةِ : فِيْهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيْهِ قُبِضَ وَفِيْهِ النَّفْخَةُ وَفِيْهِ الصَّعْقَةُ فَأَكْثِرُوْا عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوْضَةٌ عَلَيَّ قَالُوْا : يَارَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تُعْرَضُ صَلاَتُناَ عَلَيْكَ وَقَدْ أَرِمْتَ يَعْنِى بُلِيْتَ؟ فَقَالَ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ حَرَّمَ عَلَى اْلأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ اْلأَنْبِيَاءِ. (رواه أحمد وأبو دوود وابن ماجه وابن حبان فى صحيحهم)
Artinya : “Salah satu hari yang paling utama adalah hari jum’at. Di hari itu Adam AS diciptakan dan wafat, Israfil meniup sangkakala, dan matinya seluruh makhluk. Maka perbanyaklah bershalawat untuku pada hari Jum’at. Karena Shalawat kaliat disampaikan padaku. “Wahai Rasulallah, bagaimana shalawat kami sampai padamu padahal tubuhmu telah hancur?,” tanya para sahabat. “Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi”, jawab Rasulullah” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dalam shahihnya serta A-Hakim yang menilai hadis ini shahih)

مَامِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلاَّ رَدَّاللهُ عَلَيَّ رُوْحِيْ حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ (رواه أحمد وأبوداوود)
Artinya : “Tidak ada seorang pun yang memberi salam kepadaku, kecuali Allah akan mengembalikan nyawaku hingga aku membalas salamnya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Oleh karena itu, bertawassul kepada beliau pada hakikatnya kembali kepada keyakinan akan adanya hal-hal tersebut dan meyakini bahwa beliau dicintai dan dimuliakan Allah SWT serta merupakan wujud dari keimanan kepada beliau serta terhadap risalah yang dibawanya. Tawassul dengan pembacaan Maulid Nabi maupun shalawat bukan berarti menyembah Nabi Muhamad SAW, sebab betapapun tinggi derajat dan kedudukanya, beliau tetaplah seorang makhluk yang tidak mampu memberikan manfaat maupun menolak bahaya tanpa seizin Allah SWT.


"Sholluu 'alannabiy..."
Allohumma sholli 'ala Sayyidinaa Muhammad...



Sumber :
Fawwaz Fauzan Adhima, Konsepsi yang harus diluruskan (Mafahim Yajibu An-Tushohahah lil Imam As-Sayyid Muhammad Ibn Alawi Al-Maliki Al-Hasani), Tangerang : CV Mutiara Benua, 2010, ringkasan hlm. 3-21.

Comments